“Could we meet up, Love?” sapanya dari ujung telepon. Aku
termenung. Mau apa lagi, pikirku.
“Jam berapa?” tanyaku kalem.
“Around ten? I have a meeting first. I’ll pick you up at
Coffee Palace?”
“Okay.”
Klik. Aku buang teleponnya jauh-jauh. Entah bagaimana dia
selalu mampu mendatangkan debaran dalam setiap kata yang di ucap.
--
“Where are you?”
“At the bathroom. Have you arrived yet?”
“Yes. Aku di depan,” aku melangkah pelan, seperti tak ingin.
Seperti ada yang salah jalan ini menuju dia. Ku buka pintu mobil, dia
tersenyum. Bule sialan. Wanginya selalu membunuh indera penciumanku. Too
hypnotizing.
“Where are we going?” tanyaku setelah tersenyum. Palsu,
tentu saja.
“I need to pick up my things at the villa.”
“What villa?” delikku tajam.
“The one I just bought a week ago. Just outside the city.
We’ll go pick up some things. I have a flight to catch tomorrow morning.”
Ujarnya seraya tersenyum.
“Make it quick. I wanna be home before twelve.”
“Yes, love.”
--
Mataku jelalatan saat dia berjuang dengan kunci yang banyak
di tangannya, mencoba mencari yang tepat untuk pintu depan. Villa-nya ada di
pinggiran kota, di atas bukit. Melewati beberapa penjagaan satpam dan berujung
di kaki bukit dengan city view yang indah di pandang berlama-lama. Garasi yang
hanya cukup dua mobil, taman kecil dan teras depan rumah yang mungil cukup
terasa seperti tempat yang pas untuk weekend getaway. Bule lajang ini kerap
membeli properti yang nyaman. Seleranya memang membius setiap jengkal logika
perempuan. Tapi arogansinya pun menjadikan dia pembunuh hati nomor satu. Dia
terlalu mencintai pekerjaannya. Lainnya, tak pernah dia ambil pusing.
Pintu terbuka. Lampu dinyalakan. Rumahnya sudah dilengkapi
interior dan terlihat nyaman, tapi kekosongannya terlalu kencang terasa.
“Rumahmu hampa,” ujarku singkat.
“Masih baru dan belum aku tempati. Nanti juga akan terasa
lebih penuh.” Balasnya sambil ngeloyor ke atas. Aku mengikuti arahnya. Menuju
kamar utama. Klik. Kamar dikunci.
--
Bukan manusia yang ada
di hadapanku. Aku hanya melihat nafsu dan kilatan keji dari matanya.
Hilang sudah sosok orang yang tadi disitu. Berganti iblis yang bersembunyi
dalam wujud manusia. Nafasku menderu dan terengah, hampir habis.
“Get your hands off of me.” Kataku pelan. Aku sekuat tenaga
berusaha menggunakan akalku. Berusaha untuk tetap tenang dan tak membuat rusuh
setempat.
“Come on, love.. I need to finish this. Help me..” dia
memohon. Aku muak. Membuang muka. Sekuat tenaga untuk tak meludahinya.
“Your problem, not mine. If you want to get your shit done,
get a hooker.”
“Oh.. Please just help me. I’ll do it myself but at least
let me kiss you. And touch you..” ucapannya sudah tak terarah. Aku mau muntah.
Dia menarik tanganku. Menghempaskan badan mungilku di atas
kasur. Menciumi leherku. Menuju ke belahan dadaku. Tangannya satu menghilang,
dan aku tak mau tahu kemana tangannya pergi. Jijik.
Dalam hitungan detik, gerakan di bawah perutnya semakin
kencang. Tepat saat dia melenguh seperti sapi, aku muntah. Dia hina, dan
sayangnya aku Dina. Kami hampir selalu beriringan.
--
bi.na.tang
[n] makhluk bernyawa
yg mampu bergerak (berpindah tempat) dan mampu bereaksi thd rangsangan, tetapi
tidak berakal budi (spt anjing, kerbau, semut); hewan.
Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Comments
Post a Comment